UPDATEINDONESIA.COM - Fenomena protes generasi Z melalui media sosial, seperti kampanye 17+8 dan aksi mengganti foto profil dengan warna tertentu, dinilai sah sebagai bagian dari kebebasan berdemokrasi.
Menurutnya, gaya Gen Z yang akrab dengan dunia digital membuat media sosial menjadi ruang utama mereka dalam menyuarakan pendapat. Karena itu, wajar bila aspirasi politik kini banyak disampaikan melalui platform digital.
“Generasi Z punya karakternya sendiri. Mereka lebih nyaman menyampaikan gagasan dan protes lewat dunia maya. Itu tidak perlu dianggap berlebihan selama substansi tuntutan tetap jelas dan fokus,” ujarnya.
Salehuddin menegaskan, selama ekspresi tersebut disampaikan dengan cara yang elegan dan tidak keluar dari konteks isu utama, aksi digital semacam itu patut dihormati.
BACA JUGA : DPRD Kaltim Sambut Baik Hadirnya Layanan Kedokteran Nuklir di RSUD AWS
Ia juga menekankan bahwa aspirasi tersebut jangan hanya dianggap sebagai luapan sesaat, melainkan harus ditindaklanjuti oleh pemerintah.
“Yang penting bagaimana pemerintah, baik daerah maupun pusat, merespons dengan bijak. Masukan dari mahasiswa dan Gen Z harus diakomodasi agar energi mereka bisa menjadi positif,” jelasnya.
Terkait isu 17+8, ia menyebut sebagian poin tuntutan sudah menjadi perhatian DPR RI dan pemerintah pusat. Namun, ia mengakui ada beberapa agenda yang memang membutuhkan proses panjang.
“Tidak semua bisa langsung selesai. Misalnya soal revisi undang-undang perampasan aset, itu butuh waktu dan tahapan yang lebih panjang,” katanya.
Salehuddin menambahkan, DPRD Kaltim mendorong agar aspirasi anak muda dikelola dengan pendekatan yang konstruktif. Dengan demikian, suara generasi Z melalui media sosial tidak hanya menjadi tren sesaat, tetapi bisa berkontribusi nyata dalam memperkuat demokrasi serta memperbaiki arah kebijakan publik di Indonesia. (Adv/LD)

Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin. (Foto : Ist)