Menguak Dampak Pembangunan IKN Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Lokal

share on:
Menguak Dampak Pembangunan IKN Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Lokal

UPDATEINDONESIA.COM- Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menggelar diskusi dengan berbagai organisasi lingkungan dan perwakilan masyarakat adat di Hotel Four Points, Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (30/10/2024). 

Dalam diskusi itu, muncul kekhawatiran terhadap dampak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, khususnya di kawasan Teluk Balikpapan. Forum Peduli Teluk Balikpapan, Husein menyebut proyek pembangunan IKN telah menyebabkan pengurangan 1.800 hektare hutan mangrove di Teluk Balikpapan. 

“Kawasan IKN sangat erat kaitannya dengan Teluk Balikpapan, tetapi tidak ada jaminan perlindungan untuk wilayah tersebut,” ujar Husein. 

Sementara Direktur Pokja Pesisir Mapaselle prihatin terhadap keberlangsungan nelayan lokal. Ia khawatir akan bernasib sama dengan nelayan Teluk Jakarta yang terpuruk akibat pembangunan. Dia memperingatkan agar Teluk Balikpapan tidak berubah menjadi tempat pembuangan limbah dari proyek IKN.

Sependapat dengan Mappaselle, Arman dari Pemuda Suku Balik mengkritik kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam pembangunan IKN, terutama terkait penghancuran situs-situs ritual yang sakral bagi mereka.

“Masyarakat adat bukan titipan negara, tetapi titipan Tuhan. Mengapa hak lahan kami hanya sementara?” ujarnya.

Diskusi semakin hidup karena peserta diskusi dari terus mengizinkan agar diberi kesempatan bicara dan menyampaikan keberatan mereka soal pembangunan IKN.

Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Seny menambahkan bahwa dampak IKN dirasakan hingga ke luar kawasan, bahkan sampai ke daerah seperti Palu dan Donggala. 

“Green Forest City hanya menjadi janji untuk menarik investasi. Dulu masyarakat mendapatkan air gratis, sekarang harus bayar,” katanya, menyiratkan kekecewaan terhadap pengelolaan lingkungan dalam proyek ini.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim, Fathur Roziqin, juga mengkritik adanya pengalihan tanggung jawab antara OIKN dan pejabat daerah. Ia menyoroti ironi kondisi Teluk Balikpapan yang dianggap berpotensi hilang sebagai salah satu pusat biodiversitas. 

“Jangan mengajak kami bersabar hingga 2045. Kondisi Teluk Balikpapan saat ini sangat ironis, keanekaragaman hayatinya semakin terancam,” katanya.

Sementara Ketua PBH Peradi Balikpapan Ardiansyah menilai bahwa pembangunan IKN hanya menjadi proyek mercusuar tanpa memperhatikan dampak di luar kawasan inti pembangunan. Ia menyoroti krisis air yang dialami warga Balikpapan sebagai dampak dari bendungan yang mengalihkan aliran air ke IKN, hingga menyebabkan ratusan warga kekeringan.

“Tidak ada air yang mengalir ke daerah aliran sungai sekitar IKN, dan warga yang dianggap mengganggu proyek ini bahkan dikriminalisasi,” ungkapnya.

Koordinator Pokja 30 Kaltim Buyung Marajo mempertanyakan kelanjutan IKN hingga 2045 dan dampak pembangunan ini terhadap masyarakat adat serta kawasan pertanian yang terancam hilang. Ia menambahkan bahwa janji pemerintah untuk menutup kesenjangan ekonomi malah menciptakan kecemasan baru. 

“Yang ditawarkan biasanya hanya ganti rugi, relokasi, atau kerja sama. Ini kecemasan dan kegemasan kita hingga 2045,” ungkapnya, mengacu pada ancaman pengurasan sumber daya alam di Kalimantan Timur.

Mendengar berbagai kekhawatiran ini, Sugiyono dari Otorita IKN menjelaskan bahwa beberapa kerusakan mangrove terjadi di luar deliniasi IKN. Namun, ia menyatakan usulan pembentukan Badan Pengelola Teluk Balikpapan sebagai salah satu upaya solusi. 

Di sisi lain, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, mengimbau peserta diskusi untuk menyampaikan data valid guna memperkuat klaim mereka. “Para pimpinan di IKN sangat mudah diakses dan terbuka. Beberapa skenario untuk solusi sudah dipikirkan,” jelasnya. 

Ia menekankan pentingnya pendekatan kompromi dalam mencari solusi serta menyarankan peningkatan pendidikan vokasi bagi masyarakat lokal agar bisa beradaptasi dengan perubahan.

Perwakilan INDEF, Ahmad Heri Firdaus turut mengingatkan bahwa bahwa jika dampak lingkungan diabaikan, Indonesia akan menghadapi biaya yang jauh lebih besar di masa mendatang. Ia juga menyoroti pentingnya standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan, terutama untuk barang ekspor yang harus diproduksi dengan energi bersih.

Suara-suara kritis ini mencerminkan besarnya harapan agar IKN tidak hanya menjadi simbol kemajuan ekonomi, tetapi juga mengutamakan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal yang sudah lama mendiami tanah Kalimantan. (*)