UPDATEINDONESIA.COM- Asal usul kandungan zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada obat sirup yang menjadi pemicu gangguan ginjal akut pada anak memunculkan beragam spekulasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menduga produsen obat sengaja mengganti pemasok bahan baku untuk menyiasati harga yang mahal. Namun perubahan tersebut tidak dilaporkan ke BPOM.
"Selama pandemi para produsen obat diduga mengganti pemasok bahan baku dari farmasi ke kimia. Karena masalah harga. Kalau dari pemasok farmasi lebih mahal dibanding kimia yang sangat murah," ujar Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, dilansir BBC Indonesia.
BPOM juga mengklaim tidak memiliki kendali atas impor bahan baku atau bahan tambahan yang berasal dari pemasok zat kimia lantaran berada di bawah Kementerian Perdagangan.
Disaat yang bersamaan, BPOM juga merilis 198 obat sirup aman karena tidak mengandung bahan pelarut yang berbahaya seperti propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, gliserin atau gliserol.
Produk obat tersebut, kata Fenny, aman dijual dan diresepkan oleh dokter setelah melalui penelusuran. Sementara 23 jenis obat sirup yang ditemukan mengandung cemaran etilen glikol dan detilen glikol dalam batas toleran atau di bawah batas aman akan terus dipantau.
Fenny menegaskan bahwa pihaknya akan menerapkan berbagai langkah antisipasi dalam memperkuat sistem keamanan dan mutu obat agar kasus tidak terulang di masa mendatang.
Pertama, BPOM akan mengawasi masuknya bahan pelarut obat sirup yang berasal dari impor. Itu artinya perusahaan atau produsen harus mengantongi Surat Keterangan Impor BPOM terlebih dahulu sebelum memasukan bahan baku atau tambahan untuk obat.
Kedua, mengawasi kalangan industri agar benar-benar menegakkan pengendalian mutu atau quality control sesuai dengan pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dari badan. Semisal industri yang menerima bahan baku dari pemasok harus yakin dengan kualitasnya.
Ketiga, Kementerian Kesehatan dan BPOM akan membuat aturan baru soal standar dari cemaran etilen glikol dan etilen glikol dalam bahan jadi. Regulasi ini sebagai payung hukum dalam melakukan pengawasan produk jadi. Menurut Penny, belum ada standar internasional mengenai hal tersebut.
Keempat, melakukan perbaikan farmakope indonesia. Nantinya, jika ada kejadian fatal seperti gagal ginjal akut tenaga kesehatan bisa melaporkan dengan segera untuk kemudian ditindaklanjuti BPOM. Dalam hal ini, nakes harus memiliki data lengkap terhadap obat yang diberikan ke pasien sakit atau meninggal. Supaya mudah ditelusuri.
Berdasarkan data terbaru Kemenkes pada 24 Oktober 2022 mencatat total ada 269 kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Dengan rinciannya, 157 meninggal, 73 dalam perawatan, dan 39 kasus dinyatakan sembuh. Kasus ini tersebar di 27 provinsi dengan jumlah terbanyak berada di DKI Jakarta, kemudian Aceh, Bali, dan Jawa Barat.
Sebaliknya, Kemenkes sudah mendatangkan obat penawar dari berbagai negara. Seperti Singapura, Australia, dan Jepang. Semua obat penawar didistribusikan ke rumah sakit pemerintah dan diberikan ke pasien secara gratis.
Sebelumnya, hasil penelitian Kemenkes mengungkap ada jejak tiga zat kimia berbahaya tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Zat itu antara lain EG, DEG, EGBE. Zat kimia itu diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut di Gambia, Afrika Tengah, yang diduga berasal dari obat sirup buatan India. Oleh sebab itu, Kemenkes menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat sirup demi “menyelamatkan anak”. (*)